Saturday, December 2, 2006

Pergeseran Perilaku Pemilih Indonesia

Oleh: Dendi Susianto

"ELECTIONS are won and lost on imagery," kata Mary Spillane, konsultan politik di Amerika Serikat, mengomentari perkembangan proses pemilu di negara demokrasi. Ideologi dan sistem nilai kini sudah ditanggalkan di atas altar popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang bertiup.Citra seorang pemimpin-ekstremnya-akan lebih dipertimbangkan ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri.

Pendek kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan jauh lebih dihargai daripada sebelum-sebelumnya.Politik adalah popularitas. Di dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.Oleh karena itu, kandidat pejabat publik harus sangat memerhatikan penampilan dirinya ketika tampil di televisi. Mereka harus secara jeli memerhatikan baju apa yang harus dipakai, bagaimana intonasi kalimat-kalimat pidatonya, bagaimana style rambut harus ditata, aksesori apa yang mesti dipakai atau dilepas untuk memperkuat citra dirinya. Pertimbangan semacam itu pada dasarnya mengarah pada bagaimana citra diri kandidat akan dibangun di hadapan publik. Pembangunan citra diri kandidat tersebut tentunya berdasarkan hasil rekomendasi market research; apakah akan dicitrakan sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, religius, atau yang lainnya.

FENOMENA semacam ini yang bakal ditemukan dalam dunia politik Indonesia ke depan. Atau, paling tidak, fenomena ini sudah tergambar pada pemilu presiden kedua kemarin. Pada pemilu yang untuk pertama kalinya kandidat presiden dipilih secara langsung tersebut, sumber informasi utama tentang kandidat presiden diperoleh pemilih melalui televisi. Dari televisilah pemilih mendapatkan gambaran citra diri dari masing-masing kandidat presiden.Survei preferensi pemilih yang dilakukan LP3ES pada pemilu presiden lalu menunjukkan bahwa mayoritas pemilih menentukan pilihannya karena mendapat informasi dari televisi (66,2 persen), sedangkan media lainnya, seperti radio, koran, dan rayuan langsung tim sukses hanya 33,8 persen. Para pemilih Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), sebanyak 72,7 persen, juga mengakui bahwa mereka dipengaruhi oleh media televisi dibandin media lain saat menentukan pilihannya. Sementara mereka yang mencoblos Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi hanya 56 persen yang mengakui dipengaruhi oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya.

Fenomena lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi referensi utama lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun melalui media televisi kini menjadi referensi utama bagi pemilih kita. Oleh karena itu, keinginan elite politik tidak selamanya sebangun dengan keinginan para pendukungnya. Masih segar dalam ingatan kita, pada pemilu kemarin elite Partai Golkar dan PPP bersama PDI-P membentuk mesin suara, yakni Koalisi Kebangsaan, untuk memenangkan Megawati-Hasyim. Jajaran pengurus kedua partai politik tersebut dari mulai pusat sampai ke desa kemudian melakukan "sosialisasi" ke massa pendukungnya secara all out. Namun, apa dikata, hasil quick count LP3ES dan beberapa lembaga lainnya menunjukkan pasangan SBY-JK mengungguli perolehan suara pemilih. Hasil survei mengatakan sebagian besar massa pendukung Partai Golkar dan PPP memercayakan suaranya ke SBY-JK dan mengabaikan imbauan elite politiknya yang mendukung pasangan Megawati-Hasyim.Survei tersebut juga menunjukkan bahwa massa pendukung partai-partai politik yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, juga ramai-ramai memberikan suaranya kepada pasangan SBY-JK. Sebanyak 77 persen massa pendukung PAN lari ke pasangan SBY-JK. Sementara massa pendukung PKB yang mendukung SBY-JK sebesar 66 persen. Kalangan Muhammadiyah juga ramai-ramai mendukung pasangan SBY-JK meski Amien Rais hanya memberikan dukungan kepada SBY-JK dengan malu-malu. Nahdliyin juga tetap ramai-ramai menuju TPS menggunakan hak pilihnya walaupun Gus Dur menyatakan diri golput. Hanya kebijakan elite PKS dan PDS yang masih sebangun dengan pilihan politik massa pendukungnya.

Persoalannya, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apabila dilihat dari kacamata partisipasi politik, hal ini tentunya sangat baik. Dengan pemilu langsung, setiap warga negara diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin yang mereka sukai. Kehidupan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi harus memerhatikan suara orang-orang yang terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan.Kendati demikian, tegaknya negara demokrasi juga membutuhkan kedewasaan pemilih. Seperti yang dikatakan John Stuart Mill bahwa hanya pemilih yang rasional dan well informed yang bisa menjamin demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi bisa menyeleksi pemimpin yang paling bijaksana, paling jujur, dan paling tercerahkan di antara warga negaranya sendiri.

SEBAB itu, di sini dibutuhkan media massa, seperti kata Habermas, yang mampu berperan sebagai instrumen atau forum diskusi publik yang mencerahkan, rasional, kritis, dan tidak bias terhadap pembahasan kepentingan umum seperti urusan politik dan kebudayaan. Media yang memberikan edukasi politik, yang menyediakan platform untuk diskursus politik publik, memberikan fasilitas untuk mengalirnya opini publik dan umpan baliknya.Media massa, terutama televisi, tidak hanya memosisikan diri sebagai media infotainment. Apabila media massa seperti ini yang dominan, maka yang akan muncul adalah politisi selebritis. Politisi yang selalu sibuk dengan pencitraan diri di media massa tanpa pernah memikirkan arah perkembangan bermasyarakat dan bernegara.

Kisah paling tragis adalah yang pernah dialami masyarakat Filipina dengan presidennya, Joseph "Erap" Estrada.Awalnya Erap, demikian nama populernya, adalah Philippines Idol yang sangat digandrungi rakyatnya. Melalui televisi dan media massa lainnya, dia mencitrakan sebagai sosok yang cakap, tegas, hidup penuh sahaja, sosok yang dibutuhkan oleh rakyat Filipina yang sedang berjuang dengan kemiskinan, korupsi, dan kriminalitas. Namun, belakangan, setelah Estrada menjadi presiden, baru diketahui dalam real life- nya Estrada adalah sosok yang korup dengan gaya hidup yang foya-foya. Rakyat Filipina pun menjadi kecewa dan marah kepada Estrada. Singkat cerita, melodrama politik ini berakhir dengan dijebloskannya Estrada ke hotel prodeo.

Dendi Susianto Koordinator Wilayah untuk Program Quick Count dan Survei Preferensi Pemilih Pilpres Kedua, LP3ES Jakarta

(Tulisan ini pernah dimuat di artikel Kompas, tanggal: 28 Sep 04)
(http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/28/opini/1291305.htm)

Signifikansi Suara Tangerang Dalam Pilkada Propinsi Banten

Mendirikan propinsi memang sulit, namun jauh lebih sulit membangunnya. Ungkapan ini tampaknya mulai disadari oleh masyarakat di propinsi Banten. Terutama setelah dijatuhkannya vonis hukuman dua tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta atau subsider tiga bulan penjara, serta menyita barang bukti uang senilai Rp 5 miliar terhadap gubernur nonaktif Djoko Munandar atas tuduhan tindak pidana korupsi penyalahgunaan APBD 2003 sebesar Rp 14 miliar.
Masyarakat di propinsi yang baru berdiri pada tahun 2002 ini, menyadari bahwa selama ini mereka telah salah memilih seorang pemimpin. Kini yang mereka butuhkan adalah seorang pemimpin yang bersih dan berani. Seorang pemimpin yang dapat mengarahkan mereka mewujudkan cita-cita masyarakat Banten yaitu masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera berlandaskan iman dan taqwa.
Kedewasaan politik masyarakat Banten dalam memilih pemimpin rencananya akan diuji kembali akhir tahun 2006 ini. Apakah mayoritas dari delapan juta pemilih di Banten lebih memilih pasangan calon gubernur dari kalangan birokrat, jawara, pengusaha, ulama atau bangsawan. Apakah mayoritas pemilih akan cenderung menyalurkan suaranya kepada pasangan calon yang didukung oleh parpol pilihannya. Apakah pemilih akan cenderung menyalurkan suaranya kepada pasangan calon berdasarkan kesamaan ethnis. Atau, apakah pemilih akan menyalurkan suaranya kepada calon berdasarkan kesamaan asal wilayah (kabupaten/kota).
Analisa yang berkembang sementara ini mengatakan bahwa penentuan siapa gubernur Banten pasca Djoko Munandar akan banyak ditentukan oleh suara orang Tangerang. Kenapa, karena secara peta politik, Tangerang merupakan wilayah konsentrasi pemilih yang paling dominan di propinsi Banten. Lebih dari lima puluh persen, tepatnya 53.81 persen pemilih berdomisili di wilayah Tangerang (kabupaten dan kota). Artinya bila mayoritas pemilih di Tangerang menyalurkan suaranya pada salah satu calon maka kemungkinan besar calon tersebut menang dalam pilkada nanti. Sementara pemilih lainnya tersebar di kabupaten Serang (18.96%), Lebak (12%), Pandeglang (11.48%) dan Kota Cilegon (3.74%). (lihat grafik 1). Oleh sebab itu, calon yang berasal dari wilayah Tangerang pasti akan menggunakan ”kekuatan” ini sepenuhnya sebagai modal meraih kursi gubernur. Sedangkan calon yang berasal dari ”luar” wilayah Tangerang pasti akan berusaha all out untuk mengambil hati pemilih di Tangerang. Misalnya dengan menggandeng ”putra” Tangerang sebagai wakil pasangannya.

Grafik-1

Sumber:KPU Propinsi Banten

Namun analisa politik diatas masih menyimpan beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, bagaimana tingkat kesadaran memilih (voter turn out) masyarakat Tangerang pada Pilkada nanti. Apakah tingkat kesadaran memilih masyarakat di Tangerang cukup tinggi dibandingkan di wilayah lain. Hal ini perlu diketahui karena bila tingkat voter turn out-nya rendah maka besarnya daftar pemilih di Tangerang hanya menjadi sia-sia saja. Kedua, bagaimana soliditas suara pemilih di Tangerang. Apakah mungkin suara pemilih di Tangerang dapat mengalir secara solid kepada salah satu pasangan saja.
Seperti kita ketahui wilayah Tangerang sendiri terbagi menjadi dua wilayah pemerintahan yaitu Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Total pemilih di wilayah Tangerang pada saat pilpres 2004 lalu sebanyak 1.900.912 orang. Sebesar 33.01 persen berada di Kota Tangerang dan sebanyak 66.99 persen bermukim di wilayah kabupaten Tangerang. (lihat grafik 2).
Grafik-2

Dimana di masing-masing wilayah tersebut memiliki struktur sosial yang berbeda. Bila dilihat dari komposisi etnis yang bermukim di Kota Tangerang, maka etnis......
Etnis Banten memang etnis mayoritas di propinsi Banten (46.86%). Etnis kedua terbesar adalah Sunda/Priyangan (22.66%), disusul Jawa (12.20%) dan Betawi (9.62%). Namun struktur sosial masyarakat di wilayah Tangerang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di propinsi Banten. Di wilayah Kabupaten Tangerang, etnis Sunda/Priyangan merupakan etnis mayoritas (..%). Etnis terbesar kedua adalah jawa (..%), disusul Betawi (...%) dan Banten (..%).


Sementara di Kota Tangerang, etnis Jawa merupakan etnis terbesar (28.20%). Etnis terbesar kedua adalah Betawi (25.48%). Disusul etnis Sundah (19.52%) dan etnis Banten (9.80%). Secara sosiologis, ditribusi etnis memang tidak selalu berbanding lurus dengan distribusi suara pemilih. Namun setidaknya komposisi etnis di suatu wilayah akan sedikit banyak dapat mencerminkan peta politik di wilayah tersebut. Apalagi untuk kandidat yang akan melakukan kampanye politik, pengetahuan struktur sosial tersebut sangat penting dalam penyusunan strategi pendekatan kepada segemen masyarakat tertentu. Metode kampanye untuk segmen masyarakat etnis Sunda tentunya berbeda dengan etnis Jawa atau Banten.

Struktur sosial lainya di wilayah Tangerang yang sangat penting adalah adanya segregasi sosial migrant dan non migrant. Analisis sosial ini penting karena perilaku pemilih masyarakat pendatang (mingrant) dengan masyarakat asli (non migrant) tentunya akan berbeda. Isu-isu sosial dan politik tertentu yang dianggap penting oleh non migrant bisa jadi berbeda dengan masyarakat migrant. Jumlah migrant di wilayah tangerang cukup signifikan. Hal ini wajar karena wilayah Tangerang memang merupakan wilayah industri yang banyak menyedot pendatang untuk mencari makan. Di wilayah kabupaten Tangerang, jumlah masyarakat migrant mencapai 12.54% dari jumlah penduduknya. Sementara di Kota Tangerang, jumlah masyarakat migrant lebih besar lagi yakni mencapai 17.87%.

Kedewasaan politik masyarakat Tangerang juga akan tergantung dari sejauh mana kualitas altenatif kandidat yang disodorkan oleh partai politik. Kalau para kandidat yang disodorkan nantinya tidak ada bermutu tentunya posisi strategis suara pemilih di wilayah Tangerang sama juga bohong.
Pada Pilkada gubernur ini, ada empat partai yang bisa secara mandiri mencalonkan pasangan kandidat gubernur dan wakilnya. Sesuai Undang-undang pilkada bahwa partai yang dapat mengajukan calon adalah partai yang memiliki suara sebesar 15%.
Pada pilpres 2004 lalu menunjukan bahwa dukungan parpol tidak selamanya sebangun dengan pilihan politik konstituen. SBY dan Kalla yang didukung oleh partai gurem ternyata dalam pilpres 2004 lalu mendapat banyak dukungan dari kontituen partai-partai besar.
Namun demikian
Kenapa? Realitas sosial menunjukan bahwa suara pemilih terbanyak ada di Tangerang. Sumber dana dan daya ada di Tangerang.

Persoalanya, ditangerang banyak orang pendatang. Karakteristik orang pendatang kurang peduli terhadap politik lokal. Pendatang di Tangerang banyak bekerja di Jakarta.

Kasus Djoko Munandar ini menjadi sejarah tragis, tidak hanya bagi masyarakat Banten tetapi juga sejarah perpolitikan di Indonesia. Karena Djoko Munandar merupakan gubernur pertama di propinsi baru yang dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Kisah serupa juga menimpa Abdullah Puteh, gubernur NAD, yang juga harus menginap di hotel prodeo karena kasus korupsi. Bedanya, Abdullah Puteh bukan merupakan gubernur pertama di propinsi baru.
Kesadaran ini yang tampaknya memunculkan antusiasme masyarakat Banten dalam menyongsong Pilkada yang akan digelar akhir tahun 2006 ini. Hal ini nampak dari sudah mulai hangatnya proses pemunculan orang-orang yang bakal mencalonkan diri. Masyarakat Banten berharap Pilkada ini menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang dapat membangun Banten lebih baik. Pemimpin yang benar-benar tahu potensi dan arah pembangunan yang diharapkan masyarakat.
Harapan tersebut bukan sesuatu yang mustahil bagi masyarakat di propinsi Banten. Karena propinsi Banten sesungguhnya dianugerahi sumber alam yang potensial.
Berbagai kelompok masyarakat mulai mendorong atau memunculkan orang-orang yang mereka anggap pantas menjadi gubernur banten pasca Djoko Munandar. Kini kita sudah bisa melihat spanduk-spanduk sosialisasi tokoh-tokoh yang bakal mencalonkan diri, di sudut-sudut jalan di wilayah propinsi banten.
Kesalahan sejarah tersebut tentunya jangan sampai terulang kembali. Dan kedewasaan politik masyarakat Banten bakal diuji kembali dalam Pilkada yang akan dilakukan tahun 2006 ini. Kesadaran ini juga yang menggugah masyarakat banten untuk memiliki pemimpin yang beriman dan bertaqwa agar mandiri, maju dan sejahtera.
Arah politik propinsi Banten kedepan akan banyak ditentun oleh sikap politik masyarakat Tangerang.

(pernah dimuat di Media Indonesia)